Sabtu, 24 Oktober 2015

MIMPI


“ah, mimpi itu hanya bunganya tidur, dan gak ada di kenyataan hidup kita”

Begitulah komentar Anis setelah mendengarkan cerita mimpi yang aku alami semalam tadi. Entalah, aku merasakan ada sesuatu dalam mimpiku dan mimpi itu bukan mimpi biasa. Mimpi yang membuat pikiranku sedikit risau, mimpi yang membuat hatiku seakan penuh sebak, bertanya-tanya. “ada apa dengan mimpi itu dan kenapa mimpiku itu datang dengan hal kisah yang sama?”

“hufthh…” aku menghela napas dalam-dalam, dadaku terasa sempit setiap kali memikirkan mimpi itu.

“Ren, Reni, kamu denger cerita aku gak sih?” tanya Anis mengoyak-ngoyak pundakku.

“oh maaf, aku gak denger”

“ih, aku udah cerita panjang lebar dari timur sampai barat tapi kamu gak dengerin, bikin cape aja” sewot Anis mengerutkan halisnya.

“iya maaf, emangnya kamu ngebahas soal apa sih?” tanyaku.

“gak ada siaran ulang, udah ah aku pulang duluan ya” katanya seraya menyangkil tasnya ke pundak lalu berselosor ke seberang jalan dan tubuh mungilnya hilang di balik pintu mobil taksi. Kini tinggallah aku sendiri selang beberapa menit aku pun pergi meninggalkan halte.
Malam semakin sunyi ku lirik jam dinding sudah mendekati angka sepuluh, kemudian ku rentangkan tubuhku ke kasur karena merasa lelah, mataku pun mulai sayup tanpa sadar aku pun sudah terlelap.
Aku berjalan di atas rumput yang basah terkena embun setapak demi setapak kaki telanjangku menelusuri pinggiran danau yang jernih airnya di sekelilingnya terdapat hamparan bunga-bunga yang beraneka ragam warnanya, kemudian telingaku mendengar suara anak kecil memanggil namaku dengan manja dan setelahnya aku mendengar seperti suara bayi yang sedang mengoceh, dengan penasaran aku ikuti suara itu dan berusaha mencarinya. Akan tetapi, yang ku temui bukanlah anak kecil dan seorang bayi melainkan seorang lelaki muda yang tersenyum manis memanggil namaku belum sempat ku bertanya siapa dia, sosok lelaki tampan itu sudah menghilang di balik kawah putih.

“mimpi itu datang lagi.” kataku dengan tatapan kosong ke arah taman di kampus.

“aduh Ren, udah lima kali kamu bilang seperti itu ke aku, selalu mimpi, mimpi dan mimpi terus yang kamu bilang, simak ya baik-baik Mimpi itu gak nyata, mimpi itu hanya bunganya tidur!! Jadi buat apa kamu harus buang-buang energi untuk mikirin sebuah mimpi”

“tapi nis, kenapa mimpi itu selalu datang berkali-kali dengan kisah yang sama? aku bingung dan aku gak tahu kenapa aku gelisah dengan mimpi itu” jelasku dengan bola mata yang berkaca-kaca, Anis memelukku mungkin dia merasa iba melihatku seperti ini.

“oh iya, aku lupa Pak Seno kan nyuruh aku buat panggil kamu” kata Anis pasang wajah pilon.

“kenapa?”

“gak tahu, coba aja kamu samperin ke kantornya!”

Dengan penasaran langkah kecilku menuju ruang Pak Seno.
“permisi pak, Bapak manggil saya?” tanyaku setelah sampai ke meja kerjanya.

“iya, ada yang mau ketemu sama kamu” katanya sambil menunjuk ke arah ruang tamu.
Di sana aku lihat seorang wanita dengan blus panjang di tubuhnya, aku sama sekali tidak mengenali wanita itu, meskipun begitu aku tetap menghampirinya.

“hai, kamu Reni ya?” tanya wanita itu.
Aku hanya menganggukkan kepala merasa bingung.

“perkenalkan, saya Tante Dewi” katanya sambil mengulurkan tangannya.

“iya Tante, ini ada apa ya?” tanyaku sedikit bingung.

“nanti saja Tante ceritain di taksi”

“mungkin kamu udah gak inget sama Tante dan juga Reno anak Tante. Terakhir waktu Reno berusia tujuh tahun, Tante dan sekeluarga pindah rumah dari bogor ke Manado, dan sekarang Reno sedang opname di rumah sakit, sejak Ayahnya meninggal empat tahun yang lalu pola makan Reno berkurang dan sekarang…” Tante Dewi memutuskan ceritanya karena Tante Dewi menangis, tapi aku hanya diam merasa bingung dan heran tentang Tante Dewi dan anaknya.
Tante Dewi mengajakku masuk ke lorong-lorong rumah sakit setelah mendekati ruang opname itu, Tante Dewi menyuruhku untuk ikut masuk ke kamar di mana anaknya sedang terbaring tak berdaya, aku lihat dan aku dengar Tante Dewi berbisik ke telinga anaknya sambil berlinangan air mata.

“Reno, siapa yang Mama bawa untuk kamu, dia adalah Reni adik bayi yang lucu yang selama ini kamu sayangi”
Dengan langkah penasaran aku pun menghampiri tubuh lemah itu, betapa terkejutnya aku setelah jelas menatap wajahnya. Wajah itu sama persis seperti sosok lelaki muda yang ada di mimpiku.

“mustahil, ini pasti mimpi!” kataku mencubit pipiku sendiri. “aw, sakit!” rintihku, tanpa sengaja mataku melihat lembaran foto di meja ku biarkan tanganku meraihnya ku tatap foto itu dengan terkejut aku berkata, “ini aku waktu bayi, kok bisa ada di sini?”
Lalu aku putar kertas foto itu ke belakang, di sana ada sebuah tulisan yang isinya.

“adik bayi yang lucu Reno sayang dede Reni.”
Rupanya waktu itu keluarga Reno tinggal di sebelah rumahku, dan kemudian harus pindah saat Reno berusia tujuh tahun dan aku berusia enam bulan pantas kalau aku tidak ingat apa-apa.
Sekarang aku sering menjenguk Reno sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar putih karena ku yakin dengan aroma wangi bunga mawar putih bisa memulihkan suasana senyap di ruang kamar ini, saat merapikan dan menata bunga-bunga itu aku dengar Reno memanggil namaku, sontak aku pun menuju pembaringannya dan menggenggam tangannya.

“Reno, kamu udah sadar?” nihil, wajah pucat itu belum juga tersadar tak lama kemudian jari-jari itu bergerak aku lihat bola matanya terbuka dengan bibir yang masih kelu dia bertanya.

“kamu siapa?”

“aku Reni Adik bayi yang lucu dan menggemaskan..” jawabku tersenyum.

“Reni, kamu udah gak lucu tapi kamu cantik” katanya, tangannya berusaha menyentuh wajahku dan dia bilang.

“aku sayang kamu Reni, Adik bayi”

“aku bukan Adik bayi lagi, tapi aku udah menjadi wanita dewasa”

“biarlah, karena kamu tetap Adik bayi yang aku sayang”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar