kisah sepenggal malam
“Apa yang kamu lihat?”, aku mencoba memecah kesunyian. Dari
tadi aku memperhatikan kamu duduk diam menatap gelap malam ke luar jendela.
Angin dingin mulai terasa menemani malam di puncak gedung tinggi di Jakarta.
“Aku melihat mobil yang lalu-lalang di jalan”, katamu tanpa
sedikitpun menoleh kepada diriku.
Entahlah, apakah benar kamu melihat mobil yang dihiasi
lampu-lampu menerangi jalanan, atau hanya menatap kosong ke luar jendela yang
gelap, walaupun malam ini begitu cerah disirami kerlap-kerlip lampu yang
mempesolek dirinya.
Aku terdiam kehilangan bahan untuk bicara. Tak sengaja, aku
ikut menatap ke luar jendela melihat lampu-lampu yang lalu lalang di jalan
sampai dengan yang menghiasi dan dengan congkaknya bersingasana di puncak gedung
tinggi.
Tak satu pun kalimat yang terucap setelah itu. Hening.
“Apa yang terlihat tidak selalu yang sebenarnya”, tiba-tiba
kamu memecah kesunyian, walau tetap tidak menoleh ke arahku.
“Iya, seperti lampu-lampu di luar sana mempesolek malam,
sesungguhnya di balik kerlap-kerlip itu tersimpan kisah cerita yang tak
terlihat di jalanan, lorong-lorong, bahkan di semua penjuru kota”, aku mencoba
mengikuti jalan pikiranmu. “Kisah-kisah itu tidak pernah diketahui orang
banyak, hanya segelintir yang tahu, dan semua pun akan selesai begitu saja
begitu matahari datang di pagi hari”, kataku sambil menebak apa yang ada di
pikiranmu.
Ada sedikit senyuman terbentuk di wajahmu, sambil menoleh ke
arahku.
“Begitulah kehidupan”, katamu. “Kita sering tidak bisa jujur
kepada kehidupan. Ibarat malam yang indah disirami kerlap-kerlip lampu. Tetapi
banyak kisah yang tak terungkap dan menghilang seiring berlalunya hari”,
bicaramu terdengar agak pelan.
Iya, kita sering tidak bisa jujur kepada kehidupan. Aku
mengiyakan pendapatmu. Sejatinya, kita membangun dan menjalani kehidupan dengan
kejujuran. Tetapi sering kita mempesolek kejujuran, dan dia kehilangan makna.
Sejenak aku menikmati senyum di wajahmu, seiring dentang jam
tengah malam berlalu …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar